Menakar Pendapatan Musisi Indie


(Seringai, saat tampil membakar panggung.)/Foto:Instagram/Seringai



Kancah indie terlalu sering dipandang sebelah mata oleh sponsor dan produser acara musik. Sidestream Warriors yang sejatinya punya barisan massa melimpah ini kemudian membuktikannya belakangan. Tanpa bantuan sponsorship yang ndakik-ndakik sekalipun, mereka masih sanggup bernapas, berlari bahkan mengangkasa di ruang kedap sorot pemberitaan tv.

Jadwal manggung yang padat, pendapatan dari penjualan merchandise, juga dari hasil menjajakan musik secara digital bukan hanya mampu menghidupi mereka. Awak panggung, photographer, sound engineer dan banyak profesi lain kini mampu mendapat bayaran layak di ekosistem yang semakin tumbuh ini.

Pada kesempatan kali ini, Gua berkesempatan untuk mewawancarai manager dari  2 kelompok musik arus samping yang tumbuh dan bertahan dalam skena lokal yang kian memboyas.


(Seringai bersama Rhenda Rais, saat proses produksi video klip “Selamanya”.)Foto: Instagram/Seringai




Seringai


Seperti Api, kelompok musik beroktan-tinggi ini selalu sukses membakar kegilaan penontonnya di bawah panggung. Terdiri dari mantan pelantang  band Pupen, Arian 13, Gitaris sakti mandraguna, Ricky Siahaan, Drumer Ngebut, Edy Khemod dan Bassis Ganteng, Sammy Bramantyo, Seringai tercatat menjadi salah satu band terlaris sepanjang tahun 2016 lalu, dengan raihan mencapai 44 pertunjukan.

Dalam sebuah kesempatan, Arian 13 sang vokalis menjelaskan bagaimana cara agar sebuah band dapat menghidupi para personilnya. Salah satu cara yang diungkap Arian adalah dengan membuat dan menjual Merchandise.  Menurutnya, penjualan merchandise yang dikelola dengan baik, bisa menghasilkan keuntungan ratusan juta  rupiah pertahun. Keuntungan dari penjualan merch tentu saja diluar dari pendapatan lain seperti manggung, penjualan album dan royalti digital download.

“Harga jual 1 buah T-shirt sekarang Rp 135.000, itu rata-rata. Tapi yang jual dari Rp70.000 sampe 200.000-250.000 juga ada. Biaya 1 T-shirt itu Rp45.000 dan kalau kamu apa, dititipkan di distro atau kemanapun itu, mungkin konsinyasi adalah 25%. Artinya profit 1 T-shirt adalah Rp56.250” – Papar, Arian panjang lebar

Arian 13 kemudian mengkomparasi hitungan dengan milik band yang di gawanginya, Seringai.

“Seringai sendiri, band gua , kita bisa bikin itu 300 sampai 400 (pcs), 1 desain. Dan kalo desainnya bagus itu bisa habis dalam waktu mungkin 1 atau 2 bulan” – Tutup, Arian

Penjelasan pria lulusan Fakultas Seni Rupa ITB tersebut sedikit banyak membuka rahasia kalau Seringai mendapat nominal penghasilan pertahun yang cukup besar hanya dari penjualan merchandise berupa T-shirt.

Diketahui, Seringai telah merilis setidaknya 5 desain T-shirt, yang beberapa diantaranya terus di Re-issue. Bukan hanya kaos, band yang saat ini menjadi Duta dari merk sepatu kenamaan, Vans itu juga pernah merilis mechandise dalam bentuk Hoody, Snapback, Jaket dan lain-lain.


Wendi Putranto, Manager Seringai tidak menampik pernyataan Arian. Meski menolak untuk menyebut nominal pasti pendapatan pertahun Seringai karena bukan merupakan konsumsi publik, penulis buku Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik tersebut menjawab pertanyaan gua perihal kemungkinan pendapatan pertahun Seringai di 2018 ini mencapai angka milyaran rupiah.

“Iya,bisa. Belum tau pastinya juga sih.” – Ungkap Wendi via aplikasi pesan singkat, WhatsApp.

Wendi mengaku belum mendapat laporan dari bagian keuangan . Tapi yang pasti, menurutnya pendapatan Seringai  yang terbesar masih datang dari liveshow.



(Penampilan ERK disebuah konser.)Foto: Instagram/Sebelahmata_ERK





Efek Rumah Kaca

Band yang berdiri pada tahun 2005 ini merupakan salah satu kelompok musik beraliran Pop Eksperimental paling berbahaya di negeri ini. Musik Pop nya tak murni. New wave,punk, progrock, bahkan nada-nada jazz, legit terselip diantara barisan partiturnya yang manis. Diksi pada liriknya yang tak biasa membuat band yang satu ini kerap dijadikan guru berbahasa yang baik oleh para penggemarnya.

 Sampai dengan pertengahan tahun 2018, ERK masih menjadi salah satu band paling berpengaruh di Indonesia. Selain penjualan merchandise yang selalu laris manis, aksi panggungnya selalu punya daya magnet bagi pecintanya. Pada gelaran “Tiba-tiba Suddenly dan “Tiba-tiba Suddenly Concert Again”, misalnya, acara dadakan yang dihelat dalam rangka menyambut kepulangan Cholil dari Amerika Serikat tersebut dipadati ribuan penggemar. Helatan dadakan tersebut hanya memiliki waktu persiapan dan promosi selama dua hari.


Gelaran konser yang diinisiasi dalam rangka usahanya mewakili Indonesia untuk  tampil di Festival SXSW (South By South West) 2018, juga dipenuhi penonton. Helatan tersebut digelar di 5 kota sepanjang pertengahan Februari sampai awal Maret 2018. Sedang di bulan Juli, Efek Rumah Kaca manggung setidaknya di 10 titik, bulan berikutnya, ERK menghibur penggemarnya di kurang-lebih 12 titik.


Ketika gua mengkonfirmasi jumlah total pendapatan pertahun ERK yang pastinya  fantastis, Dimas Ario, Manager Efek Rumah Kaca menolak untuk membahasnya.


“Kalo emang gak bahas itunya (pendapatan) boleh gak sih?” – Ungkap Dimas Ario, saat TagarNews menghubunginya lewat saluran telfon


Ario lebih lanjut menjelaskan kalau Efek Rumah Kaca tidak melulu berkarya demi uang. Banyak acara sosial bertema pemberantasan korupsi, isu hak asasi manusia, isu lingkungan dan lain-lain, yang ERK terlibat di dalamnya, dan sama sekali tidak mempermasalahkan soal bayaran..

"Kita gak pernah rilis pendapatan kita kemanapun. Jujur saja, saya agak tidak nyaman kalau bahasannya itu. Kita tak pernah mematok harga. Kami luwes dalam hal-hal seperti itu.' - Lanjut, mantan jurnalis musik ini

Ario kemudian justru membahas soal kepedulian banyak musisi independen terhadap kancah yang membesarkannya. Menurutnya,  Dia memberi contoh dengan menyebut beberapa nama, diantaranya ada Endah & Resha yang membangun Earhouse, sebuah creative space di daerah Tanggerang Selatan

Efek Rumah Kaca sendiri diketahui juga membangun sebuah Creative Space bernama, Kios Ojo Keos. Sebuah toko buku dan Coffeshop yang menyediakan tempat dimana masyarakat bisa menggunakan untuk screening film, showcase, coaching clinic, diskusi dan lain-lain.

"Sekarang musisi udah gak peduli deh, pendapatannya mereka berapa. Sekarang tuh, band-band sekarang tuh udah cermat untuk punya aset. yang akhirnya selain bisa menghidupi (band) juga bisa diberikan (manfaatnya) ke masyarakat?" -Tutup Dimas

Artikel ini juga dimuat di Tagar News, dengan penyuntingan ugal-ugalan pada isi artikel..



Eno kini tinggal di Twitland


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berkontemplasi Bersama Jason Ranti, Melalui Bunyi dan Diksi Album Sekilas Info | Sebuah Review

'Sekilas Info' Jason Ranti, Terinspirasi Ibu Soed dan Kasino Warkop

Review Avengers Endgame (Spoiler Alert) Part 1