Berkontemplasi Bersama Jason Ranti, Melalui Bunyi dan Diksi Album Sekilas Info | Sebuah Review

Photo By: Xiaomi S3

Tulisan ini berisi review musik sok asik saya tentang Album kedua musisi Jason Ranti  alias Jeje Boy berjudul Sekilas Info. Album merupakan karya Jeje setelah album perdana 'Akibat Pergaulan Blues' dan album keroyokan 'Proyek Bahaya Laten' yang dilepas rilis beberapa tahun sebelumnya.


Agak sulit untuk menemukan kalimat pembuka yang tepat untuk artikel review kali ini. Tapi sebaiknya mari kita tanggalkan terlebih dulu pengetahuan kita soal teknis musik dan lirik dari album-album kebanyakan.

'Sekilas Info' merupakan jalinan rumit antara sastra dan petik akustik. Saya belum sanggup secara mantap menyebutnya sebagai album musikalisasi puisi. Meskipun, bisa dibilang lirik di hampir semua lagu di dalamnya adalah racauan yang berjalinkelindan (seolah) tak beraturan tanpa esensi pasti jika kita hanya sibuk mencari arti, bukan bunyi.

Jadi, mari menyamakan persepsi terlebih dulu sebelum kalian menikmati album kedua Jeje ini. Agar tak tersesat atau malah bingung sendiri. Sebab, bait demi bait atau kalimat demi kalimat dalam lagu-lagu di album ini memang berisi makna, tapi bukan berarti harus berkaitan dengan kalimat atau bait sebelum dan sesudahnya.


Saya akan menggunakan tembang 'Bohemian Rhapsody' milik Queen sebagai perumpamaan. Lirik lagu itu akan memantik perdebatan tanpa ujung jika penikmatnya hanya menyoal pencarian tentang arti. Padahal pada versi lain yang  tak terlalu populer sudah mengatakan, lirik lagu Bohemian Rhapsody memang bukan soal arti, tapi lebih kepada keindahan notasi dan bunyi.


Di dalam negeri, kita punya maestro Sudjiwo Tedjo yang lagu-lagunya juga menggunakan lirik sebagai bunyi-bunyian musik daripada sebagai kata-kata yang memiliki arti.

Oiya, album juga diberi label 'explisit content' karena liriknya berisi beberapa kata dan kalimat frontal.

-------------------------

Photo By: Xiaomi S3


Album dibuka dengan tembang kontemplatif berjudul 'Seorang Ayah Rela Disodomi Waria Demi Membeli Susu Anak'. Awalnya saya kecewa lantaran sebagai pembuka, lagu ini terlalu kalem dan langsung mengajak pendengarnya merenung.

Berat. Lagu ini terlalu serius bahkan untuk saya yang sangat jatuh cinta kepada musikalitas seorang Jeje.

Tapi kekecewaan saya berangsur lungsur. Di pertengahan lagu, sebuah puisi panjang dibacakan Jason dengan begitu emosional.

Gumpalan berbagai perasaan menyelimuti saya saat meraba kata demi kata dalam puisi tersebut. Kecewa, kesal, sedih, marah, bahkan benci kepada kondisi negeri ini, bergantian muncul dan bergumul di dalam dada saya. Isi puisi begitu menggambarkan potongan besar sikap dan sifat kita sebagai manusia Indonesia yang munafik, penuh topeng, akrab dengan gaya hidup curang, apatis, egosi, obsesif, gemar beretorika, penuh drama, serta deretan hal-hal buruk lainnya.

Kalimat 'Apa guna ilmu jika tetangga masih miskin?' dan 'Apa guna berkuasa jika di balik alang-alang di ujung gang, seorang ayah rela disodomi waria demi membeli susu anak' begitu menohok kesadaran saya. Sebuah kenyataan pedih lantaran kejadian itu benar-benar terjadi (saya sampai googling untuk berita mengenai kejadian ini) di sebuah negara yang konon katanya kaya raya.

Beberapa kali mendengar ulang, lagu dan lirik sebelum puisi ternyata juga begitu mendalam. Saya beri nilai 9,5/10 untuk lagu pembuka ini. Tidak sempurna memang, pasalnya tiap saya mencoba menikmati lagu ini, seperti masih ada sesuatu yang mengganjal. Saya pribadi menebaknya berasal dari sisi teknis produksi yang kurang maksimal. Ahhh, tapi tau apa saya soal~.

Lagu berikutnya berjudul 'LPGW' yang setelah saya dengar, sepertinya berarti 'Lagu Pegawai'. Sebuah nasihat manis dari Jeje untuk seluruh kaum kelas pekerja. Singkat, padat dan tak bertele-tele, juga tidak membosankan meski lagu hanya berisi tiga baris kalimat sebagai lirik, dalam balutan musik yang diulang-ulang.

Nah, kalau barusan adalah lagu berisi nasihat untuk kelas pekerja, yang berikutnya adalah kritik atau justru protes Jeje untuk para bos di dunia kerja. 'Bapak Bos (Yang Lotnok)' merupakan ekspresi kegelisahan seorang pagawai terhadap polah atasan yang sepertinya memang selalu menyebalkan.

Dalam lagu ini, kita semua yang pernah merasakan keseharian sebagai pegawai rendahan di dunia kerja, sepertinya akan sepakat dengan realita yang coba  disuguhkan Jeje. Tapi lagi-lagi, saya merasa terganggu dengan kualitas perekamannya. Meski kemudian saya berusaha untuk maklum setelah menyadari bahwa proses produksi memang dilakukan di berbagai tempat dan lokasi yang acak, sehingga sudah tentu tidak selalu dalam sebuah studio recording yang proper.

Rentetan 'Lagunya Begini Nadanya Begitu', 'Kafir', 'Blues Lendir' dan 'Dua Ratus Dua Belas' menjadi tembang berikutnya pernah saya dengarkan di panggung-panggung musik live Jeje dalam berbagai acara dan keriaan, jauh sebelum lagu-lagu itu masuk ke dalam album.

Versi dalam album tentu jauh berbeda. Elemen piano dalam 'Lagunya Begini Nadanya Begitu' membuat tembang ini jadi lebih manis. 'Blues Lendir' dalam versi album dibuka dengan narasi sajak reliji, sementara 'Dua Ratus Dua Belas' bergulir dengan iringan bunyi-bunyian narasi yang dicomot dari berbagai video viral di Internet. Sedangkan 'Kafir' terdengar menjadi lebih jernih, walau dalam terkaan saya, proses produksi lagu ini dilakukan dengan metode live recording alias rekaman langsung dalam sekali take. Entahlah..... Karena kembali lagi, tau apa saya soal~

Tembang berikutnya merupakan ode pemujaan Jeje kepada Caroline Ranti, istri tercinta yang digambarkan begitu heroik. Tidak hanya sebagai teman hidup, tapi juga sebagai kepala keluarga yang terlihat begitu mendominasi, bahkan untuk urusan penghidupan dan nafkah.

Sebuah rayuan yang tak biasa (Yaaa kalau biasa-biasa saja, tentu bukan Jeje namanya). Saya menyebutnya sebagai sebuah rayuan mengingat lagu ini diberi judul 'Penawar Rasa Ngambek'.

'Judul Tak Diperlukan' dan 'Iman Cadangan' menjadi lagu yang terdengar paling komersil di album ini. Saya tidak akan memberikan banyak penilaian untuk itu. Silakan didengar sendiri saja. Dalam imaji goblok-goblokan saya, dua lagu ini rasa-rasanya pantas juga digunakan sebagai soundtrack film roman.

Oiya, suara Danilla yang ambil bagian di lagu Iman Cadangan, terasa begitu menggetarkan. Dipenghujung lagu, sisi komedi Jeje diwakili sebuah suara trumpet yang ditiupkan dengan begitu menyebalkan.

Single 'Sekilas Info' dipasang kedua sebelum akhir. Lagu berisi racauan apa saja semis Britney Spears dan Pevita Pearce, nama-nama musisi Indie, pesepak bola Robby Darwis hingga isu-isu terkini yang sempat ramai di Internet.

Judul 'Tak Selamanya Blues itu Blues' yang dipasang Jeje sebagai pamungkas (Bambang kali anjis), kembali mengajak kita untuk berkontemplasi. Bahwa tak selamanya blues itu blues, karena tak selamanya pula hati itu luka. Juga bahwa tak selamanya yang indah-indah, itu benar-benar perlu.

Lagu ini cocok untuk didengar sambil menyetir sepulang ngantor, atau bahkan sebagai penghantar meditasi jelang tidur sekalian.



Secara keseluruhan, album ini lebih kalem dari album sebelumnya. Lebih kontemplatif alias penuh perenungan. Saya beri poin 9,5/10 untuk isi dalam album ini. Iyaaa tidak sempurna memang, karena yang sempurna hanya milik Philip Moris ~



Jum'at, 14 Juni 2019 03.25 Dini Hari
Eno kini tinggal di Twitland



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Avengers Endgame (Spoiler Alert) Part 1

'Sekilas Info' Jason Ranti, Terinspirasi Ibu Soed dan Kasino Warkop